- Ketua Muay Thai Jabar Buka Suara Soal Sarah Avilia! Bantah Diskriminasi, Tegas Soroti Etika Atlet!
- Naik Pangkat! Irjen Pol Karyoto Dipilih Kapolri jadi Kabaharkam Polri!
- Kapolri Tunjuk Irjen Asep! Keamanan Jakarta Kini di Tangan Sang Master Reserse!
- Geger! Wakapolri dan Kabareskrim Diganti, 61 Jenderal dan Perwira Polri Dimutasi Bulan Ini
- Kapolda Metro Jaya Kobarkan Semangat Pegawai Negeri: Siapkan Jurus Wirausaha
- Heboh Foto Ibu dan Bayi di Kantor Polisi! Terungkap: Penipuan Mobil Rp420 Juta
- Borneo FC Ekspansi ke Jakarta! Siap Jaring Bibit Emas Sepak Bola Sejak Dini
- Zaskia Nur Azizah Kembali Sabet Medali Emas di Bandung! Dapat Dukungan TNI!
- Bendera One Piece Berkibar Jelang HUT RI, Dasco: Jangan Main-main, Bisa Pecah Belah Bangsa!
- Kapolres Tangsel Ngaspal Bareng Warga, Sosialisasi Program CETAR Anti Tawuran!
Polemik Penggusuran di Ciater Subang: Warga Tuntut Keadilan atas Tanah Eks-HGU
Pemprov Jawa Barat

Keterangan Gambar : Polemik penggusuran terhadap para pedagang di kawasan Ciater, Kabupaten Subang terus bergulir dan menuai sorotan publik.
MATANEWS, Subang — Polemik penggusuran terhadap para pedagang di kawasan Ciater, Kabupaten Subang terus bergulir dan menuai sorotan publik. Sejumlah warga yang terdampak mengeluhkan tindakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang dinilai tidak adil, karena mereka telah lama menempati lahan tersebut, tidak hanya sebagai tempat usaha tetapi juga sebagai tempat tinggal.
Penggusuran dilakukan dalam rangka program penataan kawasan dan pembangunan ruang terbuka hijau (RTH), sebagaimana disampaikan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Ia menyebut bahwa kawasan tersebut perlu ditata ulang karena dinilai kumuh dan menghambat rencana pelebaran jalan.
Namun demikian, muncul polemik terkait status hukum lahan tersebut. Berdasarkan informasi yang dihimpun, tanah yang kini ditempati para pedagang merupakan lahan eks-Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) yang masa hak gunanya telah berakhir sejak 2002.
Baca Lainnya :
- Mengharumkan Sekolah, Kia Disambut Hangat Usai Juara Taekwondo Nasional
- Kepala Regional (Kareg) MBG Provinsi Banten angkat suara terkait MBG
- Adi Benny Cahyono Klarifikasi Dugaan Keterlibatan dalam Kasus Tanah Serpong
- 1.115 Atlet Bertanding di LTPI 2025
- LAK Galuh Pakuan Kritik Polres Subang dan Gubernur Jabar Soal Kasus Penggusuran Jalancagak
Secara hukum, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa tanah HGU yang masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang, kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Dalam hal ini, tanah tersebut seharusnya tidak serta-merta dianggap milik pemerintah daerah atau swasta, tetapi dapat dimasukkan dalam program Reforma Agraria, sebagaimana diatur dalam sejumlah regulasi:
* Perpres No. 62 Tahun 2003: Tanah eks-HGU yang tidak diperpanjang dapat digunakan untuk kepentingan publik atau didistribusikan kembali.
* Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2016: Menyatakan bahwa tanah eks-HGU termasuk objek Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
* Permen ATR/BPN No. 12 Tahun 2019 dan PP No. 11 Tahun 2010 juga menekankan pentingnya pendayagunaan tanah terlantar untuk masyarakat.
Suara Pedagang: “Kami Sudah Puluhan Tahun di Sini”
Seorang pedagang yang enggan disebutkan namanya menuturkan bahwa keluarganya telah berjualan di sana sejak era 1970-an. Ia merasa tindakan penggusuran yang dilakukan saat ini mengabaikan realitas sosial dan sejarah pemukiman warga.
“Kami bukan pendatang. Kami sudah hidup dan mencari nafkah di sini selama puluhan tahun. Ini bukan tanah kosong—ini tempat hidup kami,” ujarnya dengan nada kecewa.
Warga lainnya mempertanyakan, jika benar HGU telah habis dan tanah kembali menjadi milik negara, mengapa masyarakat yang telah menempati dan memanfaatkan lahan justru menjadi pihak yang disingkirkan?
Menanggapi hal ini, sejumlah organisasi masyarakat sipil dan pemerhati agraria mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kementerian Agraria serta BPN untuk mengkaji ulang legalitas penggusuran.
“Jika tanah tersebut adalah eks-HGU dan belum dimanfaatkan kembali oleh negara atau pemegang HGU sebelumnya, maka masyarakat yang telah lama tinggal dan menggantungkan hidup dari tanah tersebut berhak untuk dipertimbangkan dalam skema Reforma Agraria,” ungkap salah satu pegiat agraria.
Menurut mereka, langkah penggusuran yang dilakukan tanpa klarifikasi status hukum dan tanpa dialog dengan warga bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan bisa menimbulkan potensi konflik horizontal.
Dalam konteks ini, penegakan hukum agraria tidak bisa dilakukan semata-mata atas nama pembangunan, tetapi juga harus memperhatikan faktor sosial, sejarah pemanfaatan lahan, dan hak-hak masyarakat kecil.
Apabila terbukti lahan di kawasan Ciater merupakan tanah eks-HGU yang tidak diperpanjang, maka seharusnya masyarakat setempat diberikan akses legal atas lahan tersebut melalui skema distribusi TORA.
Warga berharap pemerintah melakukan pendataan ulang, membuka ruang dialog, serta menghadirkan kebijakan yang adil dan manusiawi dalam proses penataan kawasan, tanpa mengorbankan kelompok masyarakat kecil yang telah lama bermukim.
Fakta Hukum yang Perlu Diperhatikan:
* HGU PTPN atas tanah tersebut berakhir pada 2002.
* Belum ada informasi transparan terkait status legal saat ini: apakah diperpanjang, dialihkan, atau dikembalikan ke negara.
* Jika kembali menjadi tanah negara dan belum dimanfaatkan, maka berhak menjadi objek reforma agraria.
Polemik penggusuran di Ciater bukan sekadar soal penataan kawasan, melainkan menyangkut hak hidup dan keadilan agraria bagi masyarakat yang telah lama menggantungkan hidup dari tanah tersebut. Pemerintah dituntut untuk lebih transparan, berpihak pada rakyat kecil, serta mengedepankan solusi yang berkeadilan dan tidak represif dalam setiap langkah penataan ruang dan tata guna lahan. (Red)
